Luwu Utara, INPUTSULSEL.COM — Bank Indonesia bersama Universitas Hasanuddin melakukan Diseminasi Joint Research tentang Potensi Peningkatan Produktivitas Tanaman Kakao melalui Digital Farming, Jumat (22/1/2022) di Aula La Galigo Kantor Bupati Luwu Utara.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulsel, Causa Imran Karana menyebut latar belakang dari adanya riset yang dilakukan karena Luwu Utara memiliki potensi kakao yang tinggi, bahkan nomor satu di Sulsel.
Khusus Produksi kakao di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 91,24 persen tersebar di 10 kabupaten. Kontribusi 10 kabupaten tersebut terbesar di atas 10 persen berasal dari 2 Kabupaten yaitu Luwu Utara (21,13 persen) dan Luwu (19,72 persen).
“Pengetahuan pola tanam tergolong baik, hanya saja kita akan lebih mendorong baik dari sisi teknologi maupun pemasaran. Tujuannya adalah menyiasati kurangnya tenaga penyuluh dengan penggunaan teknologi digital atau implementasi digital farming melalui aplikasi DiGicoa,“ jelas Causa.
Merespon hal itu, Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani mengatakan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara berkomitmen untuk mengembalikan kejayaan kakao.
“Untuk itu perlu pendampingan dan intervensi yang tepat. Hal tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan beberapa aspek, diantaranya aspek produksi, penguatan kelembagaan, dan daya saing. Aspek daya saing dapat ditingkatkan melalui penumbuhan kesadaran petani untuk lebih fokus dalam penguasaan teknologi digital termasuk digital farming untuk pengembangan kakao ke depan yang selama ini penggunaannya belum optimal. Ke depan, dengan adanya platform digitaldan kemampuan akses yang baik dari petani diharapkan para petani dapat belajar, melakukan konsultasi langsung, dan membuat komitmen bersama dengan penyuluh. Segera setelah ini untuk segera diterapkan, kita mulai dari empat desa yaitu Toradda, Bone Subur, Batu Alang, dan Tete Uri,” kata Indah.
Bupati perempuan pertama di Sulsel ini menyebut, PDRB Kabupaten Luwu Utara masih didominasi oleh sektor pertanian sebesar 47,02%. Dari 47,02% tersebut, 22% disumbang subsektor perkebunan termasuk kakao.
Pada tahun 2020 tercatat produksi kakao mencapai 30.856,05 Ton ; Tahun 2019 : 28.102 Ton Tahun 2018 : 26.405 Ton.
Dengan luas areal Tanaman Perkebunan coklat Tahun 2020 : 40.814 Ha, 2019 : 40.007 Ha, 2018 : 39.767 Ha.
“Untuk itu saya berharap dengan adanya riset ini, juga dapat mentransformasi praktik kakao dalam menjawab kebutuhan di masa depan. Terlebih saat ini untuk pemulihan ekonomi.
Tantangan ke depan Information Sharing tidak hanya dalam hal produksi tapi juga pemasaran, memenuhi permintaan pasar global, serta pelibatan petani ke dalam rantai nilai berkelanjutan dan kemitraan bisnis. Sebab kita berharap tidak hanya menguntungkan hilirnya tapi juga di hulunya sehingga berujung pada peningkatan kesejahteraan petani,” pinta Indah.
Untuk dapat mewujudkan kakao lestari, lanjut Indah, tentunya dibutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan. Tidak hanya pada pemerintah, tapi juga di tingkat petani, industri, universitas, maupun lembaga swadaya masyarakat.
Terkait aplikasi DiGicoa, Ketua Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Dr. Iqbal menyebut model aplikasi tersebut berisi tentang budidaya tanaman kakao.
“Mulai dari informasi penyediaan bibit, penyediaan pupuk (distributor subsidi dan non subsidi), perawatan dan pemeliharaan tanaman kakao, manajemen kebun, pemanenan, penanganan pascapanen hingga pemasaran. Selain itu juga disediakan kolom interaktif yang bisa memfasilitasi segala pertanyaan serta pendapat para petani, penyuluh dan pengguna lainnya,” jelas Dr.Iqbal. (Rls)